10/31/08

Cinta: daun, capung.


Masih mungkinkah kau ingin bersamaku? Sedang langkahmu berdepa menjauhiku. Seperti daun yang berguguran meninggalkan ranting, lalu hijrah bersama kereta angin: hilang.

Hadir tak terduga, pergi tak berjejak. Serupa capung-capung cantik yang berterbangan di taman rumahku, kemudian sejenak hinggap di ranting kemuning. Lalu, pergi entah kemana: dirimu.

Kebahagiaan yang kau beri sebentuk mimpi, yang tak kudapati ketika terbangun.

10/28/08

Gerimis, Hujan (second version)



Aku melihat gerimis menurunkan rintiknya setengah hati. Padahal sekujur tubuh awan sejak pagi telah menghitam: perih. Dan telah melantunkan pedihnya lewat genderang petir yang bersiluet menjadi keris-keris bercahaya: harusnya segera di sambut panah-panah hujan, rupanya tidak kali ini.

"Lekas naikkan busurmu, gerimis. Dan bidiklah, agar panah-panah hujan melesat ke hamparan kerontang itu!" titah awan.

Tampaknya Gerimis acuh saja. Malah semakin larut dalam diamnya. Semakin kuat mendekap mutiara-mutiara jiwanya agar tak berjatuhan.

"Hai, gerimis! Tak kau dengarkah genderang hujan telah lama kutabuh, tak kau lihatkah beban yang kurasa sedari pagi? Tak ada lagi putih yang tersisa. Warnaku tlah begitu kelam. Aku tak kuasa lagi menahan siklus alam, kasihanilah aku! kasihanilah partikel-partikel dahaga di dataran kering itu!" titah awan berganti rajuk.

"Rintikku terlalu indah tuk berganti hujan, wahai mendung awan!" kata-kata terakhir gerimis sebelum akhirnya panah hujan menghujami sesosok raga renta: bumi.

10/27/08

Gerimis, hujan.



Di balik jendela yang terbuka separuh, kumasih berdiri. Menanti Dewi rumpun padi menemukan jalan pulang. Berharap ia menyadari kekeliriuan pilihannya antara Gerimis dan Hujan.

Diantara dingin malam musim penghujan di penghujung oktober yang kian menusuk, ku terus menatap ke satu sudut, pertigaan jalan: tempat ketika lelaki hujan membawanya pergi. Meninggalkan Gerimis yang rintiknya terampas.

Gerimis, Hujan..
Ah, ku benci Hujan, walau ku setali dengannya. Tak menyukai keberadaannya, meski penciptaannya berselang detik dengan adaku.

Gerimis, Hujan..
Serupa namun berbeda.
Serupa namun menikam.

Gerimis, Hujan..
Terlahir dari Mendung yang sama: tapi satu terluka, satu melukai.

Di sebuah sudut kamar, Mendung menangis. Dialah yang paling terluka.

10/26/08

Tetes rindu (Risau matahari)


Malam ini,
Cinta adalah tetes rindu
Butir bening yang menyusup kemudian mengalir ke setiap sel darah
Menjadikan detik terasa tak berdetak
Waktu kaku tak bergerak
Rasa tak sabar dan gelisah menumpuk di ubun-ubun
Serisau matahari menanti pagi
Berharap awan tak kelabu

Mungkin pertemuan adalah bulir jernih embun di daun sirih: indah, tenang.

10/13/08

Heart


Hari ini langkahku terasa tak menapak di bumi.

Berada di sini, tapi hatiku tidak.

Jiwa-jiwa resah mengembara
Mencari setangkup tenang di perjalanan rasa

Asap amarah telah mengepul di ubun-ubun
Detik-detik membentuk titik api
Ah, sang merah menyala

Tuhan,
Beri aku jalan menuju telaga tenang-Mu
Kuingin bercerita dan membasuh jiwa
Kemudian menenggelamkan resah dan memadamkan amarah

Di setapak ini, ku masih mencari.

10/9/08

Jangan resah (jodoh pasti datang)


Sudah dua hari ini aku rajin googling tulisan dengan kata kunci 'misteri jodoh'. Begitu banyak tulisan yang kujumpai. Dan hampir semuanya mengatakan bahwa jodoh adalah rahasia Tuhan. Dan sepenuhnya aku sepakat dengan pendapat tersebut.

Ya, jodoh memanglah rahasia Tuhan. Kapan dan dimana ia kan datang pada kita, kita takkan pernah tahu. Dan seringkali ia datang di tempat, waktu dan dengan cara yang tak pernah terpikirkan sama sekali.

Namun terbesit tanya, yang bagaimanakah yang bisa disebut jodoh?

Apakah yang disebut jodoh itu seseorang yang menikah dengan kita?

Ibuku bilang, sebuah pertemuanpun sudah bisa disebut jodoh. Karena bila kita tak berjodoh, kita takkan pernah bertemu. Dan memang benar apa yang dikatakan ibuku. Tapi itu masih sebagai arti jodoh secara luas.

Banyak orang bilang bahwa jodoh itu adalah pasangan hidup (orang yang menikah dengan kita). Dan jujur, aku setuju dengan pernyataan tersebut. Tetapi ketika kurenungi kembali, timbul tanya dihatiku, bagaimana dengan orang-orang yang menikah lebih dari sekali dalam hidupnya? Orang-orang yang menikah kemudian bercerai, lalu menikah kembali dengan pria/wanita lain. Atau para pria yang melakukan poligami. Yang manakah jodoh mereka, yang pertama atau kedua? Atau kesemuanya jodoh mereka?

Lalu ada juga yang mempertanyakan seorang suami/istri yang menikah dengan pasangannya dan setia menjalani pernikahan itu hingga akhir usia, tetapi tidak menjadikan pasangannya sebagai pria/wanita yang paling dicintai olehnya. Melainkan rasa cinta terbesar itu terjaga untuk pria/wanita lain yang bukan pasangan hidupnya. Apakah pasangan hidupnya itu masih tetap kita sebut sebagai jodohnya? Dan jawabku adalah: Ya, pasangan hidup yang dinikahinya adalah jodohnya.

Lalu kapan jodohku datang?

Maka ingin kukatakan kepada para lelaki dan wanita lajang yang sedang resah menantikan hadirnya sang pendamping hidup(termasuk aku), yakinlah, jodoh itu pasti datang. Entah dengan cara yang mudah ataupun sulit. Entah lewat perjalanan singkat atau masa panjang penantian yang melelahkan. Jodoh pasti kan datang. Bila tidak di dunia ini, pasti Allah kan memberikannya di akhirat kelak. Menjadikanmu raja/ratu bagi jodohmu.

Maka bersibuk-sibuklah tuk perbaiki diri, sehingga ketika ia datang, engkau benar-benar telah siap menjadi jodoh terbaik yang Tuhan berikan kepada pasanganmu.