10/16/07

Buah hatiku sayang

Sejenak kutatapi, kemudian kubelai lembut rambut bayi perempuan cantikku.

Ah, bahagianya hatiku, Tuhan kini telah mempercayaiku sebagai seorang ibu, meski bukan berasal dari rahimku sendiri. Bayi lucu yang tercipta sebagai anugerah bagi hidupku.

Kemiskinan itu tak lagi menghalangi suratan hidupku tuk memilikki buah hati.

Ah, pedihnya hidupku dulu. Lima belas tahun pernikahanku dengan suamiku, kami tak juga mendapatkan keturunan. Mandul?? Terbersit tanya dalam hati kami. Ya, mungkin salah satu diantara kami ada yang mandul. Entah aku, atau suamiku. Entahlah.., karena kami tak pernah memeriksakan hal tersebut. Karena tidak adanya uang, masalah klise yang selalu menemani keseharian kami.

Beberapa kali kami pernah meminta untuk merawat bayi yang baru saja dilahirkan dari beberapa tetangga yang tingkat ekonominya sama seperti kami. Miskin. Karena mereka sudah memiliki banyak anak. Kami pikir, akan bisa saling menguntungkan. Karena setidaknya, kami sudah mengurangi biaya hidup mereka dengan merawat buah hati mereka, dan kamipun bisa memiliki anak yang selalu kami dambakan walau bukanlah hasil dari benih cinta kami sendiri. Tapi hanya sumpah serapah yang kami dapatkan.

"Apa? Memberikan anak kami pada kalian? Yang benar saja! Apa yang bisa kalian beri pada anak kami? Hidup kalian saja sudah melarat. Kalaupun kami harus menitipkannya, akan kami berikan pada keluarga yang kaya raya. Yang bisa memberikan hidup dan masa depan yang baik pada anak kami". Ucap panjang mereka pada kami. Dengan nada sinis dan terasa begitu melecehkan.

Duh Gusti, perihnya hati ini. Tapi akhirnya kamipun mengerti. Mereka tak salah. Kami sadar dengan kondisi kami.

Pernah juga, kami mencoba untuk mengadopsi anak di sebuah rumah bersalin. Ternyata tidak mudah untuk mengadopsi anak. kami harus menyediakan uang Lima juta rupiah. Jumlah uang yang bagi kami begitu besar. Yang menurut pihak rumah bersalin tersebut sebagai pengganti biaya persalinan dan perawatan selama bayi tersebut berada di sana. Dasarnya kami orang miskin, mana mungkin kami punya uang sebanyak itu. Akhirnya, keinginan kami tuk menimang bayipun kembali kandas.

"Ah, lagi-lagi keinginan ini harus berujung perih". Ucapku membathin.

Tapi kami tak pernah putus harapan. Kami tak hentinya berdoa dan berusaha, semoga diwaktunya, Tuhan kan memberikan kepercayaan-Nya kepada kami sebagai seorang ibu dan ayah.

***

"Ti.., Narti..!" teriak suamiku memanggilku. Segera aku keluar rumah mencoba menyambut suamiku yang baru saja datang dari kampung sebelah, habis menjumpai sahabat lamanya.

"Ada apa toh, mas? Ko sepertinya senang benar?" Kubertanya pada suamiku, setelah melihat wajahnya yang tampak berseri.

"Begini ti, sahabatku memiliki bayi yang baru berusia dua bulan. Dia mau memberikan bayi itu pada kita. Ya, walaupun bayi itu tidak sesempurna bayi pada umumnya". Suamiku mencoba memberikan penjelasan.

"Apa mas?! Serius? Kamu tidak sedang bergurau kan?" Aku tidak bisa menutupi rasa tak percayaku.

"Benar, ti. Besok kita kembali ke sana untuk mengambil bayi tersebut". Suamiku mencoba meyakinkan. Semburat kebahagian begitu terpancar di wajahnya.

Ah, aku tak bisa tidur malam ini. Rasanya ingin segera esok tiba. Ingin segera menimang bayi itu. Rasa syukur kian memenuhi hatiku.

Pagipun tiba. Segera kamipun pergi menjemput calon bayi kami. Bayi yang kan menjadi curahan hati kami. Sebetapa burukpun keadaannya. Sebetapa berbedapun kondisinya dengan bayi pada umumnya. Aku kan tetap merawatnya. Menyayanginya dengan sepenuh jiwa.

***

Kuambil bayi perempuan cantikku dari tempat tidurnya. Kemudian kutimang. Ah, sepertinya ia ingin menyusu. Maka kucoba kukeluarkan payudaraku untuk menyusuinya. Walaupun kutahu, takkan keluar air susu dari payudaraku. Tapi setidakkya kubisa merasakan sebuah kebahagiaan seperti ibu-ibu lainnya. Ya, menyusui.

"Ti, gimana keadaan Monica, bayi cantik kita?" Tanya suamiku sambil membelai buah hati kami.

Ya, Monica, nama bayi perempuan lucu sumber kebahagiaan kami. Bayi monyet yang menjadi anak angkat kami.

No comments: