11/12/08
Aku: setetes minyak dalam sewajan air.
Rasa-rasanya benar, dalam pergaulan aku serupa setetes minyak dalam sewajan air: sulit membaur.
Aku yang dengan segala keakuanku, tak terbiasa membiarkan orang asing dengan mudahnya masuk dalam lingkar hidupku: hanya yang ternyamanlah yang kuberi lampu hijau.
Membaca dengan benar huruf demi huruf karakterku. Melihat warna-warna dalam sudut pandangku. Mendengarkan nada-nada dalam melodi bijakku.
Aku tak butuh banyak kawan, cukup beberapa, tapi keteduhannya serupa awan. Tak memerlukan seribu sahabat, cukup terhitung jemari, tapi menyinariku bak mentari. Tak menginginkan bertangkup cinta, cukup satu, namun mencintaiku sepanjang hidup.
Sampai di sini, aku masih terus ingin menjadi aku: Menjaga keakuanku. Karena aku adalah aku, bisa saya, tapi bukan kamu.
Seperti pohon sakura yang berbunga kemudian berguguran dan di musimnya kan kembali bersemi: aku yang bahagia kemudian mendapat luka, pada akhirnya kan kembali bahagia (walau luka lain kan datang).
Lalu apalagi yang mesti dikhawatirkan dari hidup? Cukuplah menjalani dan menikmati, bila semuanya tlah tertulis dalam suratan takdir: hidup pasti berujung mati.
Labels:
Percik puisi,
Tetes hidup
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment