2/6/11

sahabat (flash back)


Sahabat, kamu adalah kebahagiaan perjalanan muda saya.

Kita bersahabat sejak kecil, sejak kita baru belajar membaca. Dan bila saya diharuskan menemukan kata terindah dalam tulisan-tulisan yang pernah saya baca, maka kata itu adalah kita.

Dulu, saya senantiasa membagi segalanya. Membagi apa saja yang tak pernah saya bagi pada yang lain. Dulu kamu pernah mengalahkan surganya ibu di hati saya. Kamu begitu segalanya buat saya. Masih. Dan akan terus begitu. Walau kini dengan pengukur yang berbeda. Memang bukan lagi prioritas pertama, tapi tetap termasuk yang utama. Pasti awalnya marah dijadikan prioritas yang kesekian. Tidak terima. Kecewa. Tapi pada akhirnya kita sama menyadari, bukan prioritas pertama bukan berarti tidak penting. Maka kita terus bersahabat. Terus dekat meski berjarak. Terus membagi kisah walau kadang kisah yang serupa.


Kita sama tahu bahwasanya tidak ada persahabatan yang sempurna. Tidak juga persahabatan kita. Semuanya terasa indah. Sangat indah. Tapi bukan berarti tidak ada pahit atau sakit hati. Bukan berarti perjalanannya selalu mudah. Sahabat, tidak ada persahabatan yang abadi. Yang ada, hanyalah saya dan kamu yang berusaha sebaik mungkin mempertahankan persahabatan.

Terus mempertahankan ketika beragam hal seakan menjadikan warna persahabatan kita memudar. Sebab kita sama percaya bahwa ketika kita saling menjauh, pada akhirnya kita akan selalu rindu pulang. Setidaknya singgah bersama di rumah pohon persahabatan kita. Sahabat, kita indah pada porsinya.

4/26/10

my freedom


Hey you..

I want to write everything comes to my heart, and giving judgments for any kinds of case of life that so suddenly existing in my head. Expressing them so honestly, with no any fetters. Showing all of desire and anger which I used to save in my heart only, had no bravery to tell you. Now, I’m going to tell it with no scare of anything, no limitation, without thinking of anything besides me and all of the way I am. With no you and another you inside of it.

Let me be the most selfish one, and let me know no ones for a moment. Let me perfectly be me, do everything as the way I am, with no you and another you inside of it.

Hey yeah,

I couldn’t be a figure as I am desire of. Because, I am not living alone. And being a part of society. Because there are heart of you and another you that I have to keep harmonious inside of them.
Because..

And all the words because of..

I find so many reasons that make me keep chained as the one as always. Couldn’t be the real I am.
And I know this is as the best of destiny to happen.
Not to skip it and keep smiling.

4/3/10

Elegi hati sang calon pengantin


Rangkaian masa depan adalah hasil dari pertaruhan-pertaruhan keputusan.

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba sepenggal kalimat tersebut mampir ke dalam pikiran saya. Entah benar, entah salah pernyataan dari kalimat tersebut. Tapi setidaknya, kesinggahannya telah berhasil menumbuhkan keberanian saya untuk mengambil keputusan. Keputusan yang merupakan sebuah pertaruhan hati. Ya, mungkin saya sedang betaruh. Mempertaruhkan masa depan saya dengan keputusan ini (semoga membawa kebaikan, sebab niatnya pun demi kebaikan). Dan akhirnya, saya memutuskan untuk segera melamar kekasih saya (perempuan yang selama 7 bulan ini saya pacari). Meskipun kondisi saya saat ini terbilang memprihatinkan sebagai calon suami. Ya, memprihatinkan, SAYA TIDAK MEMILIKI PEKERJAAN.

Tidak memiliki sumber penghasilan, sebuah alasan yang telah berhasil menunda dan melayukan keberanian saya untuk segera menikahi kekasih saya. Meskipun Orang tua dan para sahabat banyak menasehati. Menurut mereka, sesungguhnya pernikahan itu pembuka jalan rejeki. Mungkin benar, sebab empat dari enam sahabat saya, setelah menikah mereka menjadi lebih kreatif dan bersemangat dalam mengais rejeki. Karena mereka memiliki tanggung jawab untuk menafkahi istri dan anak mereka, sehingga mereka menjadi lebih banyak memutar otak. Tetapi akankah demikian pula yang akan terjadi pada diri saya? Semoga saya tidak mengikuti jejak dua sahabat yang kehidupannya semakin terseok-seok selepas menikah.

Pernikahan itu pembuka rejeki.
Apa benar begitu adanya? Bagaimana jika kehidupan saya akan semakin sulit setelah menikah? Bagaimana jika saya tidak mampu menafkahi lahir bathin istri saya sesuai dengan kelayakan yang semestinya? Ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang terus memenuhi benak saya, yang intinya saya merasa takut kalau nantinya saya tidak bisa menjadi suami yang baik. Tapi setidaknya, saya memiliki tekad untuk selalu berusaha. Dan tentang apa yang akan terjadi nantinya pada saya dan keluarga kecil saya, pemulangan terakhir saya kembalikan kepada Allah Sang Penguasa takdir.

Untuk masalah ekonomi, sesungguhnya mungkin nantinya kami tidak akan terlalu kekurangan. Sebab calon istri saya memiliki pekerjaan tetap. Tapi di lain sisi, justru hal tersebut yang menjadi beban bagi saya. Karena semestinya suamilah yang menjadi tulang punggung keluarga. Apalagi nanti setelah menikah, saya yang akan ikut dengan keluarga istri. Ah, terbayang akan betapa sulitnya kehidupan saya nanti. Apalagi jika saya masih saja belum mendapatkan pekerjaan. Tetapi satu bekal kuat dari bunda telah saya kantongi. Menjadi lelaki itu harus kuat. Dan bukan kekuatan fisik yang dia maksudkan disini, melainkan kekuatan hati dan pikiran. Keberanian dalam mengambil keputusan-keputusan dengan mantap, dan siap menerima dan menjalani segala konsekuensinya, apapun itu.


Dan..
Bismillah,
Saat ini saya telah merasa siap bertaruh, mengambil keputusan besar untuk masa depan saya. Menerima segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Berusaha menjalani kehidupan pernikahan dengan baik, sebetapapun sulitnya kehidupan yang harus dilalui. Dan semoga keberadaan istri saya kelak, bisa menghadirkan manis dalam kepahitan yang mendera. Pun dalam doa dan harap-harap saya, semoga Allah memberikan berkah dalam hidup saya, akan keputusan yang saya ambil ini. Semoga Sang segala Maha ini, membukakan jalan untuk saya bisa menafkahi istri saya kelak, menafkahi lahir dan bathin, tanpa kurang. Semoga saya dan istri saya kelak akan selalu bisa menjadi rekan hidup yang baik. Pasangan yang saling bisa memberi kekuatan satu sama lain.

Amin Allahuma amin.

1/14/10

(sebab) kamu sahabat


Ah, andai saja kamu menyadari, betapa saya saat ini begitu butuh pedulimu. Di saat terpuruk seperti ini, saya akui memang saya benarbenar membutuhkan perhatianmu. Saya sadari kamu sibuk, sebab itu saya tidak mengharapkan sesuatu yang berlebih. Saya tidak akan meminta kamu selalu ada di dalam harihari saya. Tapi benar. Benar, saat ini saya tengah membutuhkan keberadaanmu. Sebab saat ini saya merasa harapan semakin bias dan menghilang (mimpimimpi saya kerap terhapus pagi).

Sungguh saya membutuhkan kamu. Jika memang kamu tak lagi bisa duduk bersebelahan sambil mengusap punggung saya, cukup berikan saja saya sebuah kalimat sakti. Kalimat yang mungkin dengan adanya, bisa menyalakan kembali semangat saya.

Memang saya butuh kamu berada di dekat saya, dan mengucapkan katakata itu kepada saya. Tetapi, saya kembali teringat bahwa kamu sibuk. Baiklah, saya akan kembali memberikan sedikit kemudahan kepada kamu. Kamu cukup menyampaikan kalimat sakti itu lewat telepon. Atau bila masih kurang sederhana, cukup sampaikan dalam sebentuk pesan singkat saja, begitupun tak apa bagi saya.

“Takkan mati jiwa yang tumbuh dengan harapan”.

Semoga kamu masih ingat, sebab saya hafal benar dengan kalimat itu. Kalimat yang seingat saya, pernah saya berikan kepada kamu beberapa tahun lalu, di kala getas semangatmu. Di saat itu, hati saya tertata lebih rapi dibanding hatimu. Sehingga saya mampu memilihkan rangkaian kata yang tepat, untuk menstimulasi semangat kamu agar bangkit kembali. Dan kini keadaannya jauh berbeda. Saya jatuh. Saya rapuh. Dan saya merindu kala di mana keteraturan rasa hati saya masih dalam kendali saya.

Lagilagi, saya akan kembali memberi kemudahan kepada kamu. Seandainya kamu malas untuk merangkai katakata yang saya harap ampuh membangkitkan semangat saya, kamu cukup kembalikan saja kalimat yang pernah saya semat di hati kamu itu. Karena saya (seseorang yang merasa sahabatmu), butuh semangat untuk tetap hidup bersama sayapsayap pengharapan saya. Bersamanya melintasi megamega suka luka. Karena saya (meski dipenuhi dengan segala kelemahan yang membuat saya menjadi sangat saya), ingin menjadi pemenang dan bangkit dari kejatuhan ini.

Kamu masih ingat kan? Betapa saya ingin selalu menjadi kebanggan ibu saya (perempuan setangguhtangguhnya perempuan di mata saya). Betapa saya juga ingin selalu menjadi lelaki kebanggaan di hati kekasih saya (perampuan yang dengan restu Allah akan menjadi pendamping hidup saya).

Dan benar, saat ini saya butuh semangatmu hujani hati saya. Seperti hujan yang sedari pagi tak henti turun di langit rumah saya.

7/21/09

Catatan Kegagalan


Secepat mentari pagi mengeringkan tetes embun
Bahagia berganti kecewa
Sedang hasratku masih haus akan beningnya
Jiwa ini masih butuh rembas sejuknya.

Di manakah Sang segala maha meletakan kunci keabadian bagi bahagiaku
Sebab kumau ia selalu tinggal dalam ruangku
Sebagai penghuni yang kuingini
Biar kecewa hanya datang sesekali saja
Sebagai tamu yang menyambangi limpah senyumku
Yang kan membuatku terus merawat bahagia agar kerasan di sini

Dan pada satu hal
Kuakui catatan tentangnya adalah baitbait kegagalan.


*photo source: Courtesy of Wanda Leopolda

7/20/09

Tentang Biru



Senja tadi,
Kau menuntaskan gundah yang beberapa hari berhijrah di jiwaku
Sungguh di matamu kutemukan sejuk
Di birunya yang sebiru lautan
Bentang luas yang tengah kurindukan

Lewat tengah malam,
Ku masih tak mampu pejam
Rasaku dibanjiri bahagia
Sebab keajaiban yang memercik di cawan takdirku
Ah, kau deburkan riak rasaku yang kini berombak

Entah apa yang memberanikanku tuk memulai
Kenekatan yang mencipta indah
Dua budaya membaur dalam perbincangan hangat kita
Barat dan timur menyatu di jemariku dan jemarimu yang saling menggengam
Kau membuatku merasa bahwa berbeda itu indah.

Hey, the owner of blue eyes..
That twilight was the first time we met
And let me get the second till thousands.


Photo Courtesy of Wanda Leopolda

6/17/09

Surat hari ini (part 3)



Untuk seseorang,

Ini adalah hampa-hampa yang mulai berisi
Tiada-tiada yang mengundang ada
Tentang benci yang mencipta rindu
Di antara amarah yang berubah iba

Kau seringkali mewarnakan hitam dan putih
Terlupa ada abu-abu di antaranya
Sedang dari kita kebanyakan bersifat abu-abu:
Tak benar-benar hitam atau putih

Kau dan aku: kita,
Ini bukan perkara tentang siapa yang kelam atau suci
Melainkan tentang berbedanya kepentingan dan kondisi hati
Sehingga intrik pun tercipta
(Semoga kita mampu mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi)

Sungguh telah terjadi tiada-tiada yang menjadi ada
Puitis-puitis yang kembara telah pulang ke hatiku
Lalu masihkah perlu mewarnakan merah?
Sedang kamu adalah stimulant penemuan puitis yang telah kubuang.

Untuk surat ketiga ini,
Sungguh benar-benar tak ada lagi kandungan amarah dalam perangkaiannya.