11/30/08

Suara hati calon mempelai pria


Aku sendiri di sini. Dan kurasa kaupun sedang sendiri di sana. Melewati malam minggu sebagai malam penuh sembilu: sepi.

Aku merasa kosong. Dan kupun tau kau sedang merasakan yang sama. Menantikan hadirnya seseorang yang kan mengisi kehampaan ini. Mengubah malam yang terasa kelabu menjadi rona-rona merah jambu.

Mungkin kita sedang saling mencari. Melewati jalan-jalan terjal dan berputar, laksana labirin yang kan terasa begitu menyesatkan dan membingungkan. Namun kelak, bila kita berjodoh, pasti kan ada titik temu antara kita.

Sayangku, kutahu kau sedang risau. Serisau hatiku yang takut kau terluka dalam perjalananmu mencariku. Tapi kuberharap, bila luka itu menyinggahimu, jangan pernah tuk berhenti mencariku. Karena di sini pun, kusedang meniti jalan-jalan yang kuharap di jalan tersebut ku dapat segera menemukanmu. Bila luka itu terasa begitu perih, kudoakan semoga kau mampu bertahan. Demi aku, demi cinta kita dan keturunan kita kelak. Dan luka-luka yang merajamimu dalam perjalanan ini, kan membuatmu semakin mencintaiku, di saat kita telah bersatu.

Di saat ini, saat aku menuliskan bait-bait ini, mungkin kita sama-sama belum menyadari bahwa di suatu hari kita akan dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Dan percayalah sayang, aku akan menerimamu sepenuh hatiku. Menerimamu sebagai takdir Tuhan yang kan menemani perjalanan hidupku dimulai pernikahan kita nanti.

Wahai perempuanku, calon istriku! Bersabarlah bila perjalanan ini terasa begitu melelahkan. Dan yakinlah, Tuhan benar-benar tahu waktu yang terbaik untuk kita bertemu dan menyatu.

Perempuanku, calon istriku, marilah kita perbanyak doa, semoga Allah meridhai kita. Mempersatukan kita, seperti Ia menyatukan pasangan-pasangan sebelum kita. Amin.

*meski kita masih terpisah, takdir kan mempertemukan kita, laksana pagi yang mengantarkan malam kepada siang.

11/19/08

Isyarat mendung (luka lelaki)


Kini mendung hadir setiap hari, seperti luka yang tertahan dalam dada: tak gerimis, tak hujan.

Luka lelaki.

11/18/08

Aku, puisi.


Suka, duka: kata
Suka, duka: puisi
lalu apalagi yang tak indah, bila setiap rasa adalah puisi.

11/12/08

Aku: setetes minyak dalam sewajan air.


Rasa-rasanya benar, dalam pergaulan aku serupa setetes minyak dalam sewajan air: sulit membaur.

Aku yang dengan segala keakuanku, tak terbiasa membiarkan orang asing dengan mudahnya masuk dalam lingkar hidupku: hanya yang ternyamanlah yang kuberi lampu hijau.
Membaca dengan benar huruf demi huruf karakterku. Melihat warna-warna dalam sudut pandangku. Mendengarkan nada-nada dalam melodi bijakku.

Aku tak butuh banyak kawan, cukup beberapa, tapi keteduhannya serupa awan. Tak memerlukan seribu sahabat, cukup terhitung jemari, tapi menyinariku bak mentari. Tak menginginkan bertangkup cinta, cukup satu, namun mencintaiku sepanjang hidup.

Sampai di sini, aku masih terus ingin menjadi aku: Menjaga keakuanku. Karena aku adalah aku, bisa saya, tapi bukan kamu.

Seperti pohon sakura yang berbunga kemudian berguguran dan di musimnya kan kembali bersemi: aku yang bahagia kemudian mendapat luka, pada akhirnya kan kembali bahagia (walau luka lain kan datang).

Lalu apalagi yang mesti dikhawatirkan dari hidup? Cukuplah menjalani dan menikmati, bila semuanya tlah tertulis dalam suratan takdir: hidup pasti berujung mati.

11/6/08

Tak berjejak (gadis malam)


Tak perlu lagi kumengharapkanmu, sebab kau menghilang ditengah kerinduanku: menghapus jejak bagi telusurku.

Kuharus melepaskanmu: melupakanmu. Merelakanmu sebagai cerita selintas yang lenyap dibergantinya hari.

Aku, kamu: kita. Tak pernah terberai karena tak pernah menyatu. Kisah berakhir bersama datangnya pagi: gadis malam.

11/1/08

Klimaks


Pertama, kau petikan aku sekuntum tenang. Esoknya kau kirimkan aku seikat gembira berpita merah jambu. Berikutnya, kau berikan aku selimut
bergambar hati: jiwaku nyaman dan berhias bebungaan.

Semua tak berlangsung lama: senyum satu purnama berganti perih menahun. Tenang melayu, gembira merontok. Selimut hatimu kini menyekapku, tak lagi mendekap.

Kebahagiaan yang kau beri sebentuk jamuan bahagia rentenir: memberikanku setetes, meminta sealiran sungai.