8/10/08
Tak mampu kumembalas, ibu
“Hidup adalah serupa jalan di pegunungan. Setapak terjal dan berputar. Yang mampu bertahanlah yang kan mencapai puncak”.
Lalu mengapa kuberhenti? Sedang perjalanan ini Masih begitu panjang. Pantaskah menyerah? Sedang seorang perempuan tua pun tak berhenti berjuang, hingga benar-benar ia temui satu ujung perjalanan, yaitu kematian. Dialah yang dengan segenap kekuatannya terus mencoba bertahan dari kencangnya badai kehidupan, dan terus mencoba menaklukan dan memenangkannya. Sedangkan aku terlahir dari rahimnya, Perempuan yang terus membunuh keluh dan karib dengan tegar. Dialah setangguh-tangguhnya perempuan, ibuku.
Dialah teladanku, ketika ku kehilangan petunjuk. Dialah tempatku berkaca, ketika telaga asaku kerontang. Dialah perempuan terhebat yang kukenal sepanjang usiaku.
Ibu,
Ada sejuta kagum membumbung di jiwa, namun lidah selalu kelu tuk berkata. Tercipta seribu kasih, namun polah datar terlaksana.
Ibu,
Pada satu waktu pasti kan kurunut lewat kata-kata. Kan kukecup keningmu, lalu dipangkuanmu kan kutuangkan segala rasa syukurku dikaruniai Tuhan, ibu sehebat dirimu.
Ibu,
Tahukah, betapa jantungku dipenuhi selaksa sesak dan airmataku sekonyong-konyong menetes, di setiap kumendengar lagu yang disenandungkan Iwan Fals yang berjudul “Ibu”. Betapa semua menggambarkan perjalananmu demi aku, demi anak-anakmu. Anak-anak yang tak hentinya menghadirkan susah di hidupmu. Bahkan, ketika kami telah mendewasa seperti ini.
…
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah..penuh nanah..
Seperti udara kasih yang kau beri
Tak mampu kumembalas ibu..
Ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas ibu..
…
Ah, bagaimana lagu itu tak pelak menusuk-nusuk kantung rasaku~mewakili isi hatiku, Sedang perjuangannya segaris lirik di lagu tersebut. Sejak ia ditinggal suaminya menghadap Yang Kuasa, lelaki yang menikahinya dan menghadiahkan empat putra dan satu putri, ia harus berjuang bersendirian menghadapi kerasnya kehidupan. Demi aku yang kala itu masih duduk dibangku SLTP dan adikku yang masih duduk dibangku SD.Sedang ketiga kakak-kakakku sibuk mengurus keluarga mereka masing-masing. Bahkan tak jarang mereka masih mengganggu ibuku dalam masalah keuangan, terutama si sulung. Sedang kami bukan orang berada.
Ibu,
Demi mencukupi kebutuhan kita, selesai subuh kau mesti berjalan kaki ke pasar tradisional terdekat, membawa bakul dan keranjang. Disana kau belanja sayur-mayur, yang kemudian kau jajakan dari rumah ke rumah. Ibu, betapa lelahnya perjalananmu. Tapi tak sekalipun kudengar kau mengeluh. Tak sekalipun beratnya perjalanan menghentikan langkahmu tuk berjuang.
Dan enam tahun yang lalu, ketika kumampu menyelesaikan masa STMku dengan gemilang, dan langsung disalurkan bekerja di salah satu anak perusahaan otomotif ternama, dirimu masih tak mau membiarkan aku menggantikanmu tuk membiayai hidupmu dan adikku. Kau masih saja ingin terus berjualan. “Tuhan, betapa tingginya semangat beliau tuk terus berjuang demi anak-anaknya, maka muliakanlah ia”. Pintaku dalam doa-doaku.
Kala itu, ia hanya meminta dibelikan gerobak, tuk menggantikan bakul dan keranjang yang telah bertahun-tahun menemani perjalanannya menafkahi kami. Pun setahun yang lalu, setelah adikku tamat STM dan telah bekerja, ia masih saja tak ingin berhenti berdagang. Bahkan dibuatkan warung di depan rumahpun, agar ia tak kelelahan berkeliling, ia tak mau.
“Aku tak ingin dibuatkan warung, berkeliling lebih bisa mendapatkan pembeli. Apalagi harus berhenti berjualan, sungguh aku tak bisa. Sedang kamu dan adikmu masih belum menjadi karyawan permanen di tempat kalian bekerja. Yang berarti sewaktu-waktu kalian bisa hilang kontrak”. Itu yang ia katakan padaku.
“Lalu apa gunaku sebagai anakmu bila bukan membahagiakanmu? Dan mengapa uang yang kuberikan setiap bulan padamu tak pernah kau pakai? ” Di satu waktu kubertanya.
“Uang itu untuk bekalmu menikah. Tentang bahagiaku, bahagiaku bila tak menyusahkan anak-anakku dan bisa melihat hidup kalian bahagia dengan pasangan kalian nantinya”. Jawabmu akan tanyaku.
Oh, betapa mulia hatimu, bu. Tak mampu kumembalas tetes-tetes keringatmu, Tak bisa ku mengganti setiap letih yang yang pernah menderamu. Hanya surga yang pantas untukmu, semoga Tuhan memberikannya kelak.
Labels:
Percik kisah,
tetes bahagia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Great, Dimas... Kemuliaan seorang ibu begitu mengharubiru, pengorbanan dan cintanya pada buah hati sungguh tak tertandingi. Salam buat Ibu :)
Post a Comment